

Ketegangan Laut Cina, telah lama menjadi wilayah yang diperebutkan oleh beberapa negara, termasuk China, Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Brunei. Klaim teritorial China yang mencakup hampir seluruh wilayah Laut Cina Selatan, di kenal sebagai “sembilan garis putus-putus,” menjadi sumber utama ketegangan. Wilayah ini kaya akan sumber daya alam seperti minyak dan gas, serta merupakan jalur perdagangan internasional yang penting.
Pada tahun 2025, aktivitas militer China semakin meningkat, dengan pengiriman kapal perang ke area yang di sengketakan. Langkah ini memicu protes dari negara-negara ASEAN yang merasa kedaulatan mereka di langgar. Dalam beberapa bulan terakhir, insiden seperti tabrakan kapal dan blokade jalur laut menjadi headline internasional. Negara-negara ASEAN, terutama Filipina dan Vietnam, menuduh China menggunakan taktik intimidasi untuk memperkuat klaimnya di kawasan tersebut.
Dr. Zhang Wei, seorang pakar hubungan internasional dari Universitas Tsinghua, menjelaskan, “China melihat Laut Cina Selatan sebagai bagian penting dari kepentingan strategis dan ekonominya. Namun, pendekatan militer tidak akan memberikan solusi jangka panjang.” Sementara itu, analis dari Center for Strategic Studies di Jakarta menambahkan bahwa tindakan China ini tidak hanya mengancam stabilitas kawasan tetapi juga mengundang respons keras dari komunitas internasional.
Ketegangan Laut Cina, selain itu Laut Cina Selatan merupakan jalur utama perdagangan dunia. Diperkirakan lebih dari 30% perdagangan maritim global melewati kawasan ini. Oleh karena itu, setiap ketegangan di wilayah ini memiliki dampak yang meluas, termasuk pada stabilitas ekonomi global. Negara-negara di luar kawasan, seperti Amerika Serikat dan Jepang, juga menunjukkan kekhawatiran terhadap peningkatan aktivitas militer China.
Langkah-Langkah Diplomatik ASEAN ASEAN telah mencoba berbagai pendekatan untuk meredakan ketegangan di Laut Cina Selatan. Deklarasi Perilaku (DOC) yang ditandatangani pada 2002 menjadi dasar untuk dialog antara ASEAN dan China. Namun, kurangnya mekanisme pengawasan membuat deklarasi ini tidak efektif dalam mencegah konflik.
Pada tahun 2025, negosiasi untuk Kode Etik (COC) yang lebih mengikat kembali menjadi prioritas ASEAN. Negara-negara anggota sepakat bahwa COC harus mencakup ketentuan untuk mencegah militerisasi dan memperkuat pengawasan internasional. Namun, China terus menolak beberapa klausul penting, seperti larangan eksplorasi sumber daya tanpa persetujuan bersama.
Dalam pertemuan terakhir ASEAN di Jakarta, para pemimpin menegaskan pentingnya solidaritas untuk menghadapi tekanan eksternal. “ASEAN harus berbicara dengan satu suara,” kata Presiden Filipina, Maria Santiago. Namun, solidaritas ini seringkali sulit dicapai karena perbedaan kepentingan ekonomi dengan China di antara negara-negara anggota.
Negara-negara ASEAN juga meningkatkan kerja sama dengan mitra internasional, termasuk Amerika Serikat, Jepang, dan Australia, untuk menekan China agar mematuhi hukum internasional. “Kami membutuhkan solidaritas global untuk menjaga Laut Cina Selatan tetap terbuka dan damai,” kata Perdana Menteri Malaysia, Anwar Ibrahim, dalam pertemuan ASEAN terakhir.
Kerja sama dengan mitra internasional juga menjadi strategi utama ASEAN. Jepang, Amerika Serikat, dan Australia menawarkan dukungan, baik dalam bentuk latihan militer bersama maupun bantuan teknologi untuk meningkatkan pengawasan maritim. Misalnya, Jepang baru-baru ini menyumbangkan drone pengintai kepada Filipina untuk membantu memantau aktivitas di wilayah sengketa.
Beberapa langkah baru di usulkan oleh ASEAN, termasuk pembentukan “Tim Pengawas Maritim Regional” yang bertugas untuk memantau aktivitas kapal di kawasan sengketa. Sebagai contoh, Tim Pengawas Maritim Filipina berhasil mendokumentasikan pergerakan kapal induk China yang di duga melanggar zona ekonomi eksklusif (ZEE) mereka. Selain itu, ASEAN juga mendesak China untuk melibatkan pengamat internasional dalam diskusi COC, guna memastikan transparansi dan akuntabilitas.
Dinamika Militer Di Wilayah Sengketa Terhadap Ketegangan Laut Cina. Kehadiran kapal perang China di Laut Cina Selatan telah memicu reaksi keras dari negara-negara ASEAN. Filipina, misalnya, meningkatkan patroli maritim dan membangun kembali pangkalan militer di dekat kawasan sengketa. Sementara itu, Vietnam memperluas kerja sama pertahanan dengan Amerika Serikat dan memperkuat armada angkatan lautnya.
“Militerisasi bukan solusi, tetapi kami tidak bisa hanya mengandalkan diplomasi ketika kedaulatan kami terus di langgar,” ujar Jenderal Tran Dai Quang dari Vietnam. Langkah ini mendapat dukungan dari rakyat Vietnam yang merasa tindakan tegas di perlukan untuk melindungi hak mereka atas sumber daya maritim. Misalnya, Vietnam baru-baru ini mengirim kapal patroli canggih ke Kepulauan Spratly untuk mencegah aktivitas pengeboran ilegal yang dilakukan oleh kapal-kapal China.
China berdalih bahwa kehadiran militernya adalah upaya untuk melindungi kedaulatan dan kepentingan nasional. Namun, langkah ini di anggap sebagai upaya untuk menciptakan “status quo” baru yang menguntungkan Beijing. ASEAN pun menghadapi dilema antara menjaga hubungan ekonomi dengan China dan melindungi kedaulatan mereka.
Negara-negara besar seperti Amerika Serikat juga mulai menunjukkan peran lebih aktif. Operasi “Freedom of Navigation” yang di lakukan oleh Angkatan Laut AS di wilayah yang di sengketakan menjadi bentuk penegasan bahwa Laut Cina Selatan adalah jalur internasional yang tidak dapat di klaim secara sepihak. Amerika juga telah mengirimkan lebih banyak kapal induk ke kawasan tersebut sebagai sinyal dukungan bagi negara-negara ASEAN.
“Kami tidak dapat membiarkan Laut Cina Selatan menjadi ajang demonstrasi kekuatan sepihak,” ujar Admiral Jonathan Smith dari Angkatan Laut Amerika Serikat. Langkah ini mendapat respons positif dari negara-negara ASEAN yang merasa membutuhkan dukungan internasional untuk menghadapi tekanan China.
Harapan Dan Tantangan Ke Depan.* *Ketegangan di Laut Cina Selatan menjadi ujian besar bagi ASEAN untuk menunjukkan relevansi dan efektivitasnya sebagai organisasi regional. Solidaritas internal ASEAN sering kali di uji oleh kepentingan yang berbeda-beda di antara negara anggotanya. Misalnya, beberapa negara anggota lebih cenderung mempertahankan hubungan ekonomi dengan China daripada mengutamakan konflik teritorial.
Meskipun demikian, pertemuan ASEAN pada tahun 2025 menunjukkan beberapa kemajuan. Negara-negara anggota sepakat untuk membentuk “Tim Respons Cepat” yang bertugas mengawasi dan melaporkan aktivitas di wilayah sengketa.
Negara-negara seperti Jepang menunjukkan sikap tegas terhadap eskalasi ini. Perdana Menteri Jepang, Fumio Kishida, menyatakan dalam sebuah konferensi, “Kami tidak akan mendukung tindakan yang merusak stabilitas maritim Asia Timur. Kerja sama internasional sangat penting untuk memastikan bahwa hukum internasional di hormati.” Jepang telah menawarkan bantuan teknologi kepada negara-negara ASEAN untuk meningkatkan pengawasan di kawasan sengketa, termasuk penyediaan drone pengintai.
Australia juga terlibat aktif, dengan Menteri Pertahanan Australia menyatakan komitmennya untuk mendukung latihan militer bersama dengan negara-negara ASEAN. “Kami tidak hanya berbicara tentang keamanan; kami mendukungnya melalui tindakan konkret,” ujar Menteri Pertahanan Australia.
Meskipun demikian, tantangan terbesar adalah memastikan bahwa langkah-langkah tersebut dapat di terapkan di lapangan. Selain itu, isu ini juga menjadi perhatian global. Negara-negara seperti Uni Eropa telah menyatakan dukungan mereka untuk penyelesaian konflik secara damai. Uni Eropa mendorong ASEAN untuk memperkuat mekanisme regional dalam menghadapi konflik ini. Uni Eropa juga memberikan contoh melalui kerja sama maritim dengan negara-negara ASEAN untuk meningkatkan kapasitas patroli dan pemantauan di kawasan sengketa pada Ketegangan Laut Cina.